BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi masalah klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan klien. Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam konseling, faktor utama yang mempengaruhi yaitu bahasa merupakan alat yang sangat penting. Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor-faktor yang menghambat konseling lintas budaya?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menghambat konseling lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Yang Menghambat Konseling Lintas Agama dan Budaya
Disebutkan pada bahasan sebelumnya bahwa terhadap factor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling lintas agama dan budaya. Dengan demikian bekerjanya factor tersebut biasa juga menjadi penghambat konseling lintas agama dan budaya. Berikut dijelaskan secara rinci faktor-faktor tersebut:
1. Bahasa
Ungkapan “piye khabare (bagaimana kabarnya)” itu sapaan orang Yogyakarta kalau bertemu temannya. “yok opo rek (bagaimana teman)” itu percakapan khas Malang atau Surabaya.“tolong belikan aku ote-ote”, kata “ote-ote” bias berate ‘makanan’ atau maksudnya ‘orang yang tidak memakai baju’. Di daerah tertentu menggunakan kepala itu artinya “ya” dan menggelengkan kepala artinya”tidak”. Sementara ada daerah lain yang berarti sebaliknya, menganggukkan kepala maksudnya “tidak” dan menggelengkan kepala artinya “ya”.
Beberapa contoh tersebut menggambarkan beda bahasa, baik verbal maupun non-verbal. Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas agama dan budaya. Bahasa adalah sistem lambang bunyi berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling. Di Amerika misalnya, diketahui sebagai bangsa yang berbahasa Inggris, akan tetapi berjuta-juta warga negaranya menggunakan bahasa lain. Di antara mereka memang bias berbahasa Inggris, banyak di antara mereka yang menggunakan bentuk yang tidak baku dengan konotasi kata dan ungkapan-ungkapan bahasa silang yang sangat berbeda dengan bentuk bakunya. Hambatan bahasa harus dipecahkan jika ingin konseling berhasil.
Menurut Arredondo (dalam Brown et al, 1988) pada waktu ini hanya sedikit praktisi konseling bilingual (menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu juga terjadi di Indonesia, apalagi masyarakat kita multi etnis. Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat penguasaannya kurang, miskin dalam kosa kata, miskin dalam ungkapan-ungkapan, atau menggunakan dialek yang berbeda. Seringkali antara konselor dan klien menguasai bahasa daerahnya (bahasa ibu), disamping bahasa Indonesia. Adapun lebih jelasnya seperti berikut;
• Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang
Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam menyusun kosa kata dan tata bahasa umum yang dipakai banyak orang, sehingga terkadang orang lain kurang mengerti akan apa yang diucapkannya dan menimbulkan persepsi yang berbeda. Contoh: konseli yang menyusun kata-kata kurang tepat, misalnya “makan dia sudah”, maka akan menimbulkan kebingungan bagi konselor untuk mengartikan ucapan konseli tersebut.
• Miskin dalam kosa kata
Seseorang yang memiliki kekurangan dalam perbendaharaan kata.
Contoh: Seorang konseling yang tidak bisa merangkai kosa kata dalam mengungkapkan apa yang akan dia katakan akan membuat konselor atau pun orang lain bingung dalam menerima atau pun mengartikan kata-katanya tersebut.
• Miskin dalam ungkapan- ungkapan
Contoh: Lia tidak nyambung ketika teman- temannya berbicara tentang istilah “ Ayam Kampus”. Kemudian Lia menanyakan pada temannya tentang istilah tersebut , temannya kemudian tertawa terbahak- bahak dan menganggap Lia sebagai orang bego.
• Penggunaan dialek yang berbeda- beda.
Contoh: orang malang yang menggunakan kata dibalik- balik misalnya: berapa(orip) dan mengginakan dialeg tegas(terkesan kasar).Orang Yogyakarta menggunakan karma alus dalam kebanyakan pembicaraannya.
• Perbedaan kelas sosial
Pada kelas Sosial yang tinggi cenderungan orang berbicara dengan bahasa yang kelasnya tinggi (eksklusif) dan sulit dimengerti oleh orang dengan status social rendah. Contoh: mahasiswa yang KKN menjelaskan pada warga desa terpencil dengan menerangkan tentang penyebaran penyakit dengan menggunakan istilah- istilah tinggi misalnya: inkubasi, injeksi. Tanpa menjelaskan arti yang lebih mudah. Tentunya warga desa tersebut tidak mengerti apa ia katakana. Seharusnya kata tersebut dijelaskan inkubasi= penularan penyakit dalam tubuh dan injeksi (menyuntik).
• Usia
Contoh: Guru yang menganggap murid kurang ajar karena membahas masalah onani/ masturbasi. Pada golongan muda membahas soal sex bukan soal yang tabu lagi namun bagi sebagian guru yang usianya berbeda jauh dengan siswa menganggap hal itu adalah kurang ajar.
• Latar pendidikan keluarga
Contoh: Konseli yang memilki orang tua berlatar pendidikan tinggi akan dianggap berasal dari keluarga kelas atas.
• Penggunaan bahasa gaul.
Contoh: Konseli yang menggunakan bahasa gaul missalnya pembokat, Lekong dll. Jika Konselor tidak faham tentang hal itu maka akan menjadi tidak bersambungan dalam komunikasi.
Apalagi jika konselor merasa etnis mayoritas, ada kecenderungan menganggap orang lain pasti tahu apa yang dimaksudkan, ia lupa bahwa di antara siswanya tidak tahu apa yang dibicarakan. Selain itu, kenyataan adanya beda kelas social, usia, latar pendidikan keluarga dan sebagainya juga mempengaruhi beda bahasa. Pemggunaan bahasa prokem, bahasa gaul di kalangan remaja atau sekelompok tertentu juga dapat merupakan hambatan.
2. Nilai
Nilai (value) merupakan kecenderungan/disposisi mengenai preferensi (kelebih-sukaan) yang didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang dikehendaki/diinginkan dan disukai orang banyak. Ini berkenaan dengan baik/buruk, pantas/tidak pantas, patut/tidak patut. Nilai merupakan konstruk yang disimpulkan (sebagai sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi secara perorangan). Istlah nilai menunjuk suatu konsep yang dikukuhi individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternative (Kluckhohn dalam Berry, 1999).
Nilai menjadi faktor penghambat dalam Konseling Lintas Agama dan Budaya sebagai berikut:
a. Memaksakan Nilai diri terhadap orang lain
Contoh: Konselor yang memaksakan konseli untuk melaksanakan nilai sub budaya konselor. Konselor merupakan orang yang rapi dan wangi, konselor tidak melayani konseli yang tidak rapi dan tidak wangi sebelum mereka rapi dan wangi.
b. Memaksakan Nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan minoritas.
Contoh: Konselor yang menganggap konseli tidak sopan karena tidak membungkuk ketika lewat di depan orang yang lebih tua. Konselor tersebut tidak mau membantu konseli sebelum ia mau mengubah kebiasaan mereka untuk membungkukkan badan ketika lewat didepan orang yang lebih tua. Tohang berasal dari Timor Leste yang mempunyai kebiasaan menepuk bahu orang yang dijumpainya sekalipun ia lebih tua darinya.
Nilai ikatan budaya merupakan rintangan penting dalam konseling lintas dan budaya. Belkin (dalam Brown et al, 1988) menyoroti beberapa contoh tentang konselor yang secara tidak sadar memaksakan nilai-nilai mereka pada klien golongan minoritas. Misalnya, salah satu tingkah laku yang sangat dihargai dalam proses konseling adalah pengungkapan diri (self-disclosure). Konselor percaya bahwa klien lebih banyak memperoleh manfaat dari konseling jika mau berbagi pikiran dan perasaan yang tersembunyi, tetapi mungkin saja klien tidak bisa menerima nilai itu. Ini karena ia dididik dan terbiasa tidak menceritakan diri dan keluarganya kepada orang lain. Sue (1981) membandingkan terapis bangsa Amerika umumnya dengan orang-orang Amerika keturunan China. Kebanyakan terapis Amerika menghargai sikap terbuka, kompetitif, terus terang. Dan mandiri, sedangkan orang Amerika keturunan China melalui kondisioning budaya belajar menghormati solidaritas, ketaatan pada peran, yang dipegang, konformitas, dan setia dalam system perkerabatan.
Di Indonesia tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor dan nilai-nilai yang dianut klien. Klien menganut nilai dari kehidupan keluarga itupun masih sering terdapat kesenjangan dengan orang tuanya apalagi dengan konselor yang merupakan orang asing bagi klien. Kesenjangan nilai bisa juga terjadi karena antara konselor dan klien berasal dari latar kehidupan social yang berbeda, tingkat social ekonomi, usia, agama, suku, jenis kelamin dan sebagainya.
3. Stereotip
Stereotip adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai penilaian/kritikan (Brown et al, 1988). Stereotip merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi dulu baru mengamati. Dapat juga dikatakan kecenderungan orang untuk memberi ciri yang sifatnya umum tentang kelompok orang dalam bentuk pernyataan verbal. Stereotip juga disebutkan sebagai suatu konsepsi yang diterima begitu saja tanpa dipikirkan secara kritis/dianalisis, dan diterima begitu saja. Biasanya dibarengi dengan reaksi emosional.
Stereotip merupakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena terbentuk secara lama berakar sehingga sulit diubah, dan menjadi pola tingkah laku yang berulang-ulang. Hal ini dapat dipahami karena Stereotip itu sebagai hasil belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi kendala jika konselor dihinggapi Stereotip. Apabila konselor menggunakan Stereotip, maka mereka tidak bisa bersikap luwes waktu merespon klien dengan segala kebutuhannya.
Keadaan ini bisa menjadi parah jika klien juga mempunyai Stereotip terhadap konselornya. Ungkapan-ungkapan Stereotip misalnya “Orang Solo halus; Madura itu keras; Cina itu pelit; laki-laki itu hanya pakai rasio; perempuan itu main perasaan; anak remaja sukanya hura-hura;orang tua itu kolot; orang pakai tato itu jahat; anak laki-laki yang rambutnya panjang pasti nakal”.[4]
Stereotip itu bisa berupa kelompok dan bisa perorangan. Ungkapan Stereotip ini dapat terjadi karena individu itu beda jenis kelamin, agama, kelompok usia, suku bangsa, kelas social, dan sebagainya. Perbedaan konselor dank lien dapat member peluang keduanya untuk terjebak Stereotip. Misalnya, Bu Rita sedang mengonseling Aci siswi kelas 1 SMU, anak orang kaya, Bu Rita beranggapan Aci pasti anak yang suka maunya sendiri, manja, tidak mau bersusah-susah, bergaya. Aci juga berpikir bahwa Bu Rita guru perempuan yang cerewet, sok menasehati, tidak mau tahu urusan anak muda. Jika keadaannya konselor dan klien sama-sama Stereotip, maka keduanya sudah dihinggapi sikap yang kaku terhadap masing-masing. Kemungkinan besar konseling tidak berhasil. Contoh lain, konselor berasal dari Yogyakarta sedang mengonseling klien dari suku Batak. Konselor berpendapat kliennnya wataknya keras, dan klien beranggapan konselornya tidak tegas.
4. Kelas Sosial
Di dalam masyarakat terdapat kelompok individu yang disebut kelas sosial. Kelas sosial ini muncul mungkin karena latar belakang pendidikan, pekerjaan, kekayaan, penghasilan, juga termasuk perilaku dimana dan bagaimana individu itu membelanjakan uang. Ada tiga kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Jika dirinci lagi menjadi Sembilan, yaitu kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah, atas-bawah); kelas soial menengah (menengah-atas, menengah-menengah, menengah-bawah); dan kelas sosial bawah (bawah-atas, bawah-menengah, bawah-bawah). Masing-masing kelas sosial ini mempunyai nilai, kebiasaan, pola piker, gaya hidup, cara pandang, pola tingkah laku, fasilitas dan sebagainya berbeda-beda. Orang-orang di kalangan atas mempunyai gaya tersendiri untuk merayakan ulang tahunnya, sementara di kalangan bawah ingat hari ulang tahunnya saja tidak.
Rendahnya kelas sosial atau kemiskinan tampaknya berpengaruh, baik pada banyaknya masalah kesehatan mental maupun untuk memperoleh bantuan penanganannya (Brown et al, 1988). Penelitian-penelitian cenderung menunjukkan adanya hubungan terbalik antara kelas social dan gangguan jiwa seperti schizophrenia, alkoholisme, penyalah-gunaan obat, dan tingkah laku anti-sosial (Dohrenwend dalam Brown et al, 1988). Sebagian, hal ini dijelaskan sebagai fungsi hubungan antara sressor (hal-hal penimbul stress) dan kemiskinan.
Dalam proses konseling, tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan hidup klien dari kelas social bawah dan atas.[5]
5. Ras atau Suku
Banyak perhatian diberikan pada perbedaan kebudayaan yang ada di antara kalangan ras golongan minoritas dan pengaruh adanya perbedaan ini pada isu-isu yang berhubungan dengan konseling (dalam Brown et al, 1988). Selanjutnya dijelaskan bahwa bukti-bukti memang menunjukkan kalau klien golongan minoritas cenderung putus terapi lebih awal, tidak menetapi jadwal perjanjian, dan mengutarakan ketidakpuasannya mengenai jalannya proses bantuan.
Proses konseling itu sendiri bias menimbulkan masalah bagi klien golongan minoritas. Kebanyakan system terapi menekankan pentingnya intropeksi, hal memikul tanggung jawab atas konsekuensi hidup dan perlunya klien berhasil menemukan pemecahan masalah dan mengambil keputusan pribadi. Di pihak lain, klien golongan minoritas memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah orang yang tertindas. Mereka menunjuk lingkungan masyarakat di luar mereka sebagai sumber dari kesulitan hidup mereka. Dengan demikian banyak teori konseling bertentengan dengan esensi (kenyataan mendasar) identitas kelompok minoritas ini.
Individu golongan minoritas sering menginginkan lebih banyak dari yang dapat diberikan oleh terapis (konselor). Keinginan berlebih ini, misalnya minta lebih banyak campur tangan langsung lebih banyak nasihat konkret, konseling bantuan keuangan, dan bantuan untuk memperoleh pekerjaan (Korchin dalam Brown et al, 1988). Karena tidak memahami hal-hal yang menyebabkan stress yang menimpa klien golongan minoritas, kebanyakan konselor mengalami kesulitan dalam memberikan bantuan secara langsung semacam itu.
Keadaan demikian menunjukkan kebutuhan akan hadirnya konselor lintas-budaya. Seperti yang dinyatakan Locke (1986), hal yang mendasar bagi keterlibatan lintas-budaya adalah pengakuan atas adanya identitas kelompok dan adanya perbedaan individu. Sikap toleran terhadap dua hal tersebut merupakan keharusan etis bagi konselor (Pedersen & Marsella, 1982).
Di Indonesia yang terdiri atas bermacam-macam rasa tau suku menyebabkan variasi perbedaan yang sangat beragam. Perbedaan suku ini seringkali merupakan penghambat proses konseling, karena masing-masing suku memiliki kebiasaan, falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh konselor. Atas dasar kesadaran lintas-budaya yang dimiliki oleh konselor diharapkan ia dapat mengatasi hambatan ini.[6]
6. Jenis Kelamin (Gender)
Pada tahun 1970 para terapis dikejutkan oleh kenyataan adanya sikap kaum seksis (yang suka melecehkan/memperolok-olok orang perempuan) dalam profesi bantuan yang diungkapkan penelitian yang dilakukan Broverman dan rekan-rekannya (dalam Brown et al, 1988).
Penelitian ini menunjukkan bukti-bukti tidak hanya mengenai adanya stereotip jenis kelamin diantara para terapis, tetapi juga tentang stereotip perempuan yang merendahkan. Menurut pikiran para terapis pada waktu itu, perempuan kurang bersifat mandiri dan kurang berani (mencoba sesuatu, ambil resiko) dibandingkan dengan laki-laki, mereka dipandang sebagai individu yang mudah dipengaruhi dan terlampau emosional.
Pada tahun 1980 Worell mereviu artkel yang membahas ideologi, tujuan, kebutuhan, rasional, strategi, dan temuan-temuan penelitian yang berhubungan dengan konseling perempuan. Penelitian dan penulisan artikel tentang psikologi feminism dan hal lain yang yang berkenaan dengan bantuan keoada kaum oerempuan memang perlu dilakukan. Ini perlu dilakukan dalam profesi bantuan mengingat kenyataan bahwa menurut sejarahnya kebanyakan pendeketan konseling timbul dari studi tentang laki-laki (dengan subjek laki-laki) (Hare-Mustin dalam Brown et al, 1988), dengan akibat soal-soalgaya hidup perempuan kurang mendapat penanganan. Hal ini terutama berlaku untuk perkembangan dan konseling karier, di mana prasangka (bias) seks mempunyai dampak yang paling besar.
Bidang-bidang yang paling relevan dengan soal-soal perempuan adalah hubungan perkawinan dan keluarga, masalah reproduksi, pelecehan seksual dan fisik, depresi, diagnosis yang didasarkan atas pandangan kaum seksis, dan masalah yang menyangkut soal makan (Hare-Mustin dalam Brown et al, 1988). Dijelaskan bahwa perempuan bias mengikuti ragam yang lebih luas dalam pola gaya hidupnya, beradaptasi lebih sebagai tantangan. Masalah besar bagi perempuan adalah bagaimana menggabungkan karier dengan keluarga. Perempuan yang bekerja masih harus memikul beban paling besar dalam mengelola rumah tangga. Perempuan seringkali ditempatkan dalam posisi peran ganda.
Demikianlah, maka konseling untuk membantu perempuan seringkali mencakup bukan hanya klien perempuan itu sendiri melainkan juga keluarga, atau teman-temannya.
Cerita gender di Amerika rupanya tidak jauh beda dengan isu gender di Indonesia. Perbedaan peran laki-laki dan perempuan sejak kecil memang berbeda, baik secara umum maupun khusus. Laki-laki tidak boleh “cengeng”, harus sekolah yang tinggi, bekerja, yang melamar perempuan jika mau menikah (kebanyakan di berbagai daerah), sementara perempuan boleh menagis, tidak perlu sekolah tinggi, kebanyakan tidak bekerja, dan menunggu dilamar. Masih banyak lagi contoh yang serupa itu, yang pada intinya adalah merupakan nilai budaya tentang laki-laki dan perempuan, dan ini sangat mempengaruhi cara pendang dan perilaku mereka.
Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga bias menghambat proses konseling. Apalagi di antara mereka dihinggapi stereotip terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap klien perempuan yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Klien laki-laki mempunyai stereotip terhadap konselor perempuan yang tidak tegas misalnya. Sebaliknya, klien perempuan menganggap konselor laki-laki yang tidak dapat memahami perasaannya, karena pada dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya.
7. Usia
Usia merupakan penghambat konseling, karena pada dasrnya masing-masing periode perkembangan mempunyai kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup, dan nilai budaya tertentu, yang harus dipahami oleh konselor. Misalnya konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani konseling anak-anak muda. Dengan melewati continuum Locke, diharapkan konselor memeliki keterampilan dan teknik yang efektif.
Demikianlah, setiap periode mempunyai nilai-nilai budaya usia tersebut. Misalnya dikalangan anak remaja terutama laki-laki (sub-budaya remaja), memakai paying disaat hujan merupakan suatu yang memalukan, ia merasa lebih baik jika basah kuyup. Kalau dilihat dari nilai orang tua (sub-budaya orang tua), lebih baik memakai paying, tidak basah, karena dapat menyebabkan sakit. Usia merupakan penghambat konsleing, karena pada dasrnya masing-masing periode perkembangan mempunyai kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup, dan nilai budaya tertentu, yang harus dipahami oleh konselor. Misalnya konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani konseling anak-anak muda. Dengan melewati continuum Locke, diharapkan konselor memeliki keterampilan dan teknik yang efektif.
8. Preferensi Seksual
Usaha-usaha yang dilakukan orang untuk mengatasi masalah seksualitasnya merupakan isu yang lazim menjadi bahan kajian dalam konseling. Itu perihal perasaan seksual, menyirap perasaan-perasaan itu ke dalam dan membentuk citra diri seseorang, dan membuat keputusan tentang bagaimana bertindak atas dasar perasaan dan jati dirinya. Proses ini cukup sulit bila orang memperoleh cukup banyak dukungan dari orang lain. Hal itu bila membingungkan arah yang ditempuh berlawanan dengan norma masyarakat yang berlaku dan sangat dijaga kelestariannya (Brown et al, 1988).
Homoseksualitas bertentangan dengan norma social yang berlaku. Pergulatan individu mengatasi masalah identitas homoseksual seringkali tidak mendapat dukungan. Hukuman yang dijatuhkan karena prefensial seksual semacam ini seringkali teramat berat. Dari kejadian ini berkembang istilah homo-phobia; kekuatan yang kuat, tidak masuk akal terhadap homoseksualitas dan kaum homoseksual (Weinberg dalam Brown et al, 1988). Didorong oleh budaya yang dominan, itu merupakan usaha yang bertujuan menciptakan control terhadap terjadinya kasus homoseksualitas.
Walaupun ada bukti yang menunjukkan bahwa banyak orang gay yang sehat penyesuaian pribadinya bias mengikuti berbagai ragam gaya hidup yang cocok dengan kepribadiannya, namun menerima dan mempertahankan identitas dan gaya hidup gay dapat menimbulkan masalah karena adanya tekanan negative (Bell & Weinberg dalam Brpwn et al, 1988). Orang gay laki-laki dan peempuan mempunyai pengalaman bahwa mereka kurang memperoleh bantuan dari konselor yang hukan gay, hal ini karena adanya isu homo-phobia tersebut. Ini merupakan tantangan bagi konselor non-gay agar mengevaluasi diri berkenaan dengan adanya factor ini. Hal ini juga menunjukkan luasnya bidang konseling lintas-budaya. Perbedaan budaya antara konselor dank lien dapat terjadi karena perbedaan preferensi seksual, sperti juga perbedaan itu terjadi karena perbedaan ras dan latar belakang etnis.
Preferensi seksual seperti di atas, di Indonesia mulai samar-samar ditampakkan dan “diakui” oleh masyarakat (walaupun sangat terbatas atau terpaksa), dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Baru-baru ini masyarakat daerah tertentu dikagetkan oleh penduduknya seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang akan menikah dengan sesame TKW dari daerah lain. Kenyataan bahwa masyarakat telah berkembang seperti itu, berpengaruh terhadap layanan bantuan konseling, jika suatu saat terdapat klien yang mengalami kasus berkenaan dengan preferensi seksual. Ini menjadi penghambat konseling karena kemungkinan konselor tidak paham akan nilai-nilai klien tersebut.
9. Gaya Hidup
Profesi konseling sudah mencapai posisi dimana semua minat individu dan masyarakat dilayani dengan lebih efektif di dalam budaya majemuk, yang menganggap sahnya berbagai gaya hidup. Atau dengan kata lain, kepentingan individu dan masyarakat akan terlayani dengan lebih baik dalam kebudayaan pluraristik yang mengakui kebenaran gaya hidup beragam ketimbang dalam kebudayaan yang menerima pandangan gaya hidup sempit (Brown et al, 1988).
Pola hidup atau gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional, yang didukung secara terbuka oleh sebagian besar anggota masyarakat, dan gaya hidup alternative yang jarang terjadi dan biasanya kurang disetujui masyarakat luas. Kalau perkawinan dan anak merupakan inti dari gaya hidup tradisional, maka hidup secara komunal, hidup sendirian, dan perkawinan tanpa anak merupakan beberapa contoh gaya hidup alternative. Dapat ditambahkan contoh-contoh seperti hidup selibat (membujang, hidup lajang), hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, merupakan gaya hidup yang sulit dimengerti dan diterima bukan saja oleh masyarakat umum, melainkan juga oleh konselor.
Perlu disadari bahwa banyak lembaga social mendukung dan aktif membantu orang-orang yang menempuh gaya hidup tradisional, tetapi ada juga, meski sedikit yang mendukung dan membantu mereka yang mengikuti pola hidup alternative. Di sini perlu konselor untuk menjembatani kesenjangan ini.
Untuk memenuhi kebutuhan konseling khusus ini, konselor harus dapat menerima sembarang gaya hidup yang sebetulnya tidak ada yang lebih baik, juga tidak ada yang lebih buruk, yang harus diatasi adalah gaya hidup yang melanggar hak orang lain. Gaya hidup tertentu, termasuk yang tradisional, dapat lebih baik atau dapat juga lebih buruk bagi individu tertentu daripada gaya hidup yang lain. Seseorang mungkin dapat mencapai kemajuan hidup dengan mengikuti gaya hidup alternative yang memberinya makna hidup pribadi dan memenuhi harapan masyarakat.
10. Keadaan Orang-Orang Cacat
Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi pelaksanaan konseling. Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan.
Nathanson (dalam Brown et al, 1988) meninjau sejumlah literature mengenai sikap para professional yang menangani orang-orang yang cacat. Karena tidak luput dari prasangka (bias), konselor kadang-kadang secara tidak sadar juga mengungkapkan problemnya. Nathanson mengidentifikasi pelanggaran-pelanggran yang umum dilakukan konselor terhadap integritas kaum cacat.
a. Memandang bahwa satu factor penghambat dapat menjalar ke aspek-aspek lain seseorang, sehingga keseluruhan individu itu dinilai hanya dari cirri fisiknya saja.
b. Keliru mengasihani seorang individu dengan memandangnya sebagai individu yang rapuh, tak ada harapan lagi, penuh penderitaan, frustasi dan ditolak.
c. Merusak peluang individu untuk menunjukkan tanggung jawab dan keyakinan diri dengan terlalu cepat (gampang) mendorong orang lain memberikan orang cacat tersebut “istirahat”.
d. Menghambat antusiasme dan optimism klien dengan jalan terlalu cepat membatasi maslah klien untuk bertindak dengan harapan agar ia terhindar dari kegagalan.
e. Berlebih-lebihan menilai (memuji) prestasi seorang klien dengan kata-kata seperti “merngagumkan” atau “hebat” yang mempunyai implikasi bahawa kebanyakan kaum cacat adalah interior.
Agar dapat berhasil membantu kaum cacat, konselor perlu mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup dan mempunyai berbagai keterampilan, disamping ia perlu meneliti sikap-sikpanya sendiri dan bahasa yang digunakannya. Sikap konselor pasa saat berhubungan dengan orang cacat perlu ditinjau lagi, respon spontannya, akan mempengaruhi proses konseling. Demikian juga penggunaan bahasa oleh konselor harus tepat, baik dalam komunikasi umumnya dengan orang cacat, atau pada waktu mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan cacat seseorang (tidak salah sebut, atau berlebih-lebihan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor yang peka dan tanggap terhadap adanya keberagaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien yang lain, serta terutama antara konselor dengan kliennya.
Adapun hambatan struktural yang sering ditemui dalam proses konseling lintas budaya adalah adanya faktor bahasa, nilai, stereorip, kelas sosial, ras dan suku, jenis kelamin, usia, preferensi sosial, gaya hidup dan keadaan orang cacat.
DAFTAR PUSTAKA
Mitchell, Duncan, SOSIOLOGI Suatu Analisa Sistem Sosial, (Jakarta: Bina Aksara), 1984
Prayitno, Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor, (Jakarta: Depdikbud), 1987
Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2011
Scott, John, Teori Sosial: Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2012
Weststeijn, Willem G., Jan van Luxemburg dan Mieke Bal, Pengantar Ilmu Sastra (Diindonesiakan oleh Dick Hartoko), (Jakarta:PT Gramedia), 1986
0 Response to "hambatan konseling lintas budaya"
Posting Komentar